Giat Sosialisasikan Lumbung Pangan Masyarakat

Giat Sosialisasikan Lumbung Pangan Masyarakat

Pengelolaan Lumbung pangan masyarakat  merupakan amanah dalam UU 18/2012 tentang Pangan. Lumbung pangan masyarakat sendiri adalah sarana untuk penyimpanan dan pengelolaan bahan pangan pokok sebagai cadangan pangan masyarakat untuk antisipasi terjadinya kerawanan pangan, keadaan darurat, dan gangguan produksi pada musim kemarau. 

D:\2022\DAK\sosialisasi\guyung4.jpg

Idealnya di setiap desa harus ada lumbung pangan, karena fungsinya yang sangat penting untuk cadangan pangan di tingkat desa. Di kabupaten Ngawi sendiri sudah ada sekitar 50 lumbung pangan yang tersebar di beberapa desa. Ada yang aktif dan sebagian juga tidak difungsikan sebagaimana mestinya.

D:\2022\DAK\sosialisasi\Tambakboyo1.jpg

Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kab Ngawi melalui Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan gencar memberikan sosialisasi ke tingkat desa untuk memotivasi kelompok tani atau Gapoktan untuk mengoptimalkan fungsi lumbung pangan yang ada di desa. Dalam aktifitasnya nanti keberadaan lumbung pangan masyarakat diarahkan untuk mengoptimalkan penyerapan gabah petani. Diharapkan dengan berfungsinya lumbung pangan masyarakat yang ada di desa bisa untuk mewujudkan Ketahanan pangan wilayah desa dan peningkatan kesejahteraan petani.

Budidaya Tanaman Kedelai

Budidaya Tanaman Kedelai

  1. Syarat Tumbuh

Tanaman kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis  tanah asal drainase (tata air) dan earasi (tata udara) tanah cukup baik, curah hujan 100 – 400 mm/bulan, suhu udara  23 – 30 ºC, kelembaban 60 – 70 %, pH tanah 5,8 – 7, ketinggian kurang dari 600 m dpl.

  1. Pengolahan Tanah

Tanaman kedelai biasanya ditanam pada tanah kering (tegalan) atau tanah persawahan. Tanah bekas  penanaman padi tidak perlu diolah (tanpa olah tanah= TOT), namun jerami padi perlu dipotong pendek. Untuk memberantas gulma perlu disemprot dengan herbisida kontak atau sistemik.

  1. Penanaman

  • Jarak Tanam

Jarak tanam : 40 cm x 25 cm atau 40 cm x 20 cm atau 40 cm x 15 cm atau 40 cm x 10 cm tergantung dari tingkat    kesuburan tanah dan umur tanaman. Begitu pula pada umur varietas, varietas yang umur pendek  (genjah), sebaiknya menggunakan jarak tanam yang lebih rapat (40 cm x 10 cm), varietas yang umur sedang sebaiknya menggunakan jarak tanam yang sedang (40 cm x 15 cm), dan varietas yang umur dalam (umur panjang), jarak tanam yang digunakan lebih renggang (40 cm x 25 cm).

  • Persiapan Benih

Varietas berbiji kecil : Gepak Kuning , Gepak Hijau. Varietas berbiji besar : Agro mulyo , Grobogan, Panderman, Anjasmoro, Burangrang, Arjasari, Mahameru. Berdasarkan potensi hasil dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dianjurkan menanam VUB : Kaba, Argomolyo, Anjasmoro, Burangrang, Grobogan, dan Sinabung. Kebutuhan benih 40 kg/ha dengan daya tumbuh 90%.

Varietas unggul kedelai mempunyai sifat beragam terkait dengan ukuran biji, umur panen, potensi hasil, warna biji, daya tahan terhadap cekaman biotik atau abiotik serta daya adaptasi.

  • Penanaman dan Pemupukan Dasar

Sebelum dilakukan kegiatan penanaman, terlebih dulu diberi pupuk dasar. Pupuk yang digunakan berupa TSP sebanyak 75 kg – 200 kg/ha, KCl 50 kg – 100 kg/ha, dan Urea  50 kg/ha. Untuk menghindari hama lalat bibit, sebaiknya pada saat penanaman benih diberikan pula Furadan, Curater, atau Indofuran      kedalam lubang tanam.

Cara tanam yang  terbaik untuk memperoleh produktivitas tinggi yaitu dengan membuat lubang tanam memakai tugal dengan kedalaman antara 1,5 – 2cm. Penanaman dilakukan dengan memasukkan ke dalam lubang penanaman sebanyak 2 benih/lubang kemudian tabur dengan tanah.

Cara Menanam Kedelai Dengan Hasil Melimpah dan Unggul, Ini Dia Tipsnya ! -  Abahtani

Gambar 1. Penanaman Kedelai

  1. Pemeliharaan

Tanaman kedelai sangat memerlukan air saat perkecambahan (0–5 hari setelah tanam), stadium awal vegetatif (15–20 hari), masa pembungaan (25–35hari) dan pembentukan biji (55–70 hari). Pengairan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari.

Pada saat tanaman berumur 20 – 30 hari setelah tanam, dilakukan kegiatan penyiangan. Penyiangan dilakukan dengan cara pemantauan baik secara mekanik– konvensional atau manual atau secara kimia denganmenggunakan herbisida Penyiangan pertama dilakukan bersamaan dengan kegiatan pemupukan susulan. Penyiangan kedua dilakukan setelah tanaman kedelai selesai berbunga. Penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma yang tumbuh menggunakan tangan atau kored. Selain itu, dilakukan  pula penggemburan  tanah.  Penggemburan dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak perakaran tanaman.

  1. Pemupukan

Pupuk diberikan pada saat tanaman berumur 20-30 hari setelah tanam yaitu menjelang kedelai berbunga. Pemupukan dilakukan dengan cara menaburkan pupuk di sekeliling tanaman dengan jarak kurang lebih 10 cm. Dosis pupuk secara tepat adalah sebagai berikut:

  • Sawah kondisi tanah subur: pupuk Urea= 50 kg/ha.
  • Sawah kondisi tanah subur sedang: pupuk Urea= 50 kg/ha, TSP= 75 kg/ha dan KCl= 100 kg/ha.
  • Sawah kondisi tanah subur rendah: pupuk Urea= 100 kg/ha, TSP= 75 kg/ha dan KCl= 100 kg/ha.
  • Lahan kering kondisi tanah kurang subur: pupuk kandang= 2000 – 5000 kg/ha; Urea= 50 – 100 kg/ha, TSP= 50 – 75 kg/ha dan KCl= 50-75 kg/ha

  1. Pengelolaan Hama dan Penyakit

Beberapa jenis hama yang menyerang tanaman kedelai :

  • Ulat Grayak : Ulat memakan seluruh bagian daun kecuali tulang daun, sehingga daun-daun yang terserang dari jauh terlihat berwarna putih.
  • Penggerek polong: Gejala serangan yang biasa ditandai dengan masuk ke dalam polong. Selain makan polong, ulat muda juga menyerang daun-daun dan bunga. 
  • Penggerek polong kedelai : Penggerek polong dapat ditemukan dipermukaan pertanaman kedelai sejak pembungaan sampai menjelang panen.

Secara umum pengendalian hama pada tanaman kedelai dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida dilakukan bila mencapai intensitas kerusakan lebih dari 2% dan jika ditemukan 1 pasang serangga dewasa pada 20 rumpun tanaman, atau jika ditemukan 2 ulat per tanaman (tingkat serangan mencapai lebih dari 2,5%).

Beberapa jenis penyakit yang menyerang tanaman kedelai :

  • Penyakit Busuk Akar : Penyakit busuk akar disebabkan oleh jamur yang menyerang biji sebelum dan sesudah munculnya dipermukan tanah. Pembusukan pada akar dan batang menyebabkan tanaman menjadi layu pada saat perkecambahan dan tanaman dewasa.
  • Penyakit Busuk Batang : Gejala penyakit busuk batang tanaman yang sakit menunjukkan gejala penyakit berupa kerusakan pada tanaman dewasa pada bagian daun bahkan polong kedelai.
  • Penyakit Karat Daun : Gejala timbul pada daun pertama berupa bercak-bercak yang berkembang ke daun-daun di atasnya dengan bertambahnya umur tanaman. Bercak terutama terdapat pada permukaan bawah daun. Warna berupa coklat kemerahan seperti warna karat.

  1. Panen dan Pasca Panen

  • Panen

Panen dilakukan pada saat tanaman sudah masak. Umur panen kedelai ditentukan oleh jenis varietas, musim tanam, kelengasan tanah serta perlakuan agronomis, umumnya 70 – 90 hari. Kedelai masak ditandai dengan 95% polong berwarna coklat atau daun sudah berwarna kuning. Panen dimulai sekitar jam 09.00 pagi, pada saat ini air embun sudah hilang. Pangkal batang tanaman dipotong menggunakan sabit. Hindari pemanenan dengan cara mencabut tanaman, agar tanah/kotoran tidak terbawa. Hasil panen ditempatkan ditempat kering dan diberi alas terpal/plastik.

  • Pasca Panen

Ayep Zaki Tampung Hasil Panen Kedelai Petani Manggarai Barat NTT -  Jurnalglobal

Gambar 2. Penanganan Pasca Panen Kedelai

Penanganan pasca panen yang terdiri dari penjemuran brangkasan tanaman, pembijian, pengeringan, pembersihan, dan penyimpanan biji. Kedelai sebagai bahan konsumsi dipetik pada umur 75 – 100 hari, sedangkan untuk benih umur 100 – 110 hari, agar kemasakan biji benar-benar sempurna dan merata. Penjemuran yang terbaik adalah penjemuran brangkasan kedelai diberi alas terpal. Pengumpulan dan Pengeringan Setelah pemungutan selesai, seluruh hasil panen hendaknya segera dijemur. Kedelai dikumpulkan kemudian dijemur di atas tikar, anyaman bambu, atau di lantai semen selama 3 hari. 

Sesudah kering sempurna dan merata, polong kedelai akan mudah pecah sehingga bijinya mudah dikeluarkan. Agar kedelai kering sempurna, pada saat penjemuran hendaknya dilakukan pembalikan berulang kali. Pembalikan juga menguntungkan karena dengan pembalikan banyak polong pecah dan banyak biji lepas dari polongnya. Sedangkan biji-biji masih terbungkus polong dengan mudah bisa dikeluarkan dari polong, asalkan polong sudah cukup kering. 

Penyortiran dan penggolongan terdapat beberapa cara untuk memisahkan biji dari kulit polongan. Diantaranya dengan cara memukul-mukul tumpukan brangkasan kedelai secara langsung dengan kayu atau brangkasan kedelai sebelum dipukul-pukul dimasukkan ke dalam karung, atau dirontokkan dengan alat pemotong padi. Setelah biji terpisah, brangkasan disingkirkan. Biji yang terpisah kemudian ditampi agar terpisah dari kotoran- kotoran lainnya. Biji yang luka dan keriput dipisahkan. Biji yang bersih ini selanjutnya dijemur kembali sampai kadar airnya 9-11 %. Biji yang sudah kering lalu dimasukkan ke dalam karung dan dipasarkan atau disimpan.

Sumber :

BPTP Aceh. 2009. Budidaya Tanaman Kedelai. 

BPTP Balitbangtan Sulawesi Barat. 2021. Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Kedelai.

BPTP Sulawesi Selatan. 2018. Teknologi Budidaya Kedelai pada Lahan Sawah.

Integrated Farming System

Integrated Farming System

Integrated Farming merupakan sistem pertanian dengan memanfaatkan keterkaitan antara tanaman perkebunan/pangan/hortikultura) serta ternak dan perikanan untuk mendapatkan agroekosistem yang mendukung produksi pertanian, peningkatan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam. Integrated Farming System atau sistem pertanian terpadu merupakan sistem pertanian yang mengintegrasikan kegiatan sub sektor pertanian, tanaman, ternak, ikan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya (lahan, manusia, dan faktor tumbuh lainnya), yang mendukung produksi pertanian, peningkatan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam, serta kemandirian dan kesejahtraan petani secara berkelanjutan.  

Penerapan pertanian terpadu pada dasarnya adalah mengoptimalkan pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang ada sehingga, terjadi hubungan timbal balik secara langsung antara lingkungan biotik dan abiotik dalam ekosistem lahan pertanian dimana output dari salah satu budidaya menjadi input kultur lainnya.

Prinsip keterpaduan dalam Integrated Farming yang harus diperhatikan, yaitu: 

(1) Agroekosistem yang berkeanekaragaman tinggi yang memberi jaminan yang lebih tinggi bagi petani secara berkelanjutan; 

(2) Diperlukan keanekaragaman fungsional yang dapat dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling melengkapi dan berhubungan dalam interaksi sinergetik dan positif, dan bukan hanya kestabilan yang dapat diperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input yang lebih rendah; 

(3) Dalam menerapkan pertanian berkelanjutan diperlukan dukungan sumberdaya manusia, pengetahuan dan teknologi, permodalan, hubungan produk dan konsumen, serta masalah keseimbangan misi pertanian dalam pembangunan; 

(4) Pemanfaatan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang maksimal yang menghasilkan sistem pertanian yang kompleks dan terpadu yang menggunakan sumberdaya dan input yang ada secara optimal; 

(5) Menentukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarah pada produktivitas yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumberdaya yang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal.

Sistem pertanian terpadu dapat meningkatkan kemampuan para petani dalam memproduksi pupuk organik dan kemudian dapat membudayakan pertanian organik. Pertanian organik akan dapat menghasilkan produk pertanian dengan kualitas tinggi dan higienis yang tidak terkontaminasi dengan bahan kimia yang kurang baik bagi kesehatan

 Konsep terapan sistem pertanian terpadu akan menghasilkan F4, yang terdiri dari Food, Feed, Fuel dan Fertilizer. 

  1. F1 (Food). Sumber pangan bagi manusia (beras, jagung, kedelai, kacang-kabangan, jamur, sayuran, dll), produk peternakan (daging, susu, telur, dll), produk budidaya ikan air tawar (lele, mujair, nila, gurami, dll.) dan hasil perkebunan (salak, pisang, kayu manis, sirsak, dll.).
  2. F2 (Feed), Pakan ternak termasuk di dalamnya ruminasia (sapai, kambing, kerbau, kelinci), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dll), pakan ikan budidaya air tawar (ikan hias dan ikan konsumsi).
  3. F3 (Fuel), akan dihasilkan energi dalam berbagai bentuk mulai energi panas (bio gas) untuk kebutuhan domestik/masak memasak, energi panas untuk industri makanan di kawasan pedesaan juga untuk industri kecil . Hasil akhir dari bio gas adalah bio fertilizer berupa pupuk pupuk organik cair dan kompos.
  4. F4 (Fertilizer), Sisa produk pertanian melalui proses dekomposer maupun pirolisis akan menghasikan pupuk kompos (organik fertilizer) dengan berbagai kandungan unsur hara dan C-Organik yang relatif tinggi.

Gambar di atas merupakan salah satu contoh penerapan Sistem pertanian terpadu pada lahan sawah.

Penerapan sistem integrasi padi-ternak sapi (SIPT) mampu memberikan keuntungan karena penggunaan pupuk kandang yang bisa meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Kontribusi pendapatan dari SIPT terhadap pendapatan total rumah tangga petani cukup tinggi. Kemudian SIPT juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal seperti pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak dan kotoran sapi sebagai pupuk organik, sehingga tidak ada limbah yang terbuang

Pertanian integrasi tanaman-ternak dapat memperbaiki kualitas tanah, meningkatkan hasil, menghasilkan pangan beragam dan memperbaiki efisiensi penggunaan lahan. Manfaat integrasi tanaman-ternak dan tanaman-ikan dapat disintesis melalui: 

1) aspek agronomi yaitu peningkatan kapasitas tanah untuk berproduksi, 

(2) aspek ekonomi yaitu diversifikasi produk, hasil dan kualitas yang lebih tinggi, serta menurunkan biaya, 

(3) aspek ekologi yaitu menurunkan serangan hama dan penggunaan pestisida, dan pengendalian erosi, dan 

(4) aspek sosial yaitu distribusi pendapatan lebih merata

Sumber : M. Nurcholis dan G. Supangkat,2011, Pengembangan Integrated Farming System Untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian, Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian,ISBN 978-602-19247-0-9

Sri Utami1, Khairunnisa Rangkuti. 2021. Sistem pertanian terpadu tanaman ternak untuk peningkatan produktivitas lahan: A Review. AGRILAND Jurnal Ilmu Pertanian 9(1) Januari-April 2021 1-6

Hama-Hama Utama Pada Tanaman Tebu

Hama-Hama Utama Pada Tanaman Tebu

Tanaman tebu merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis dan kebutuhan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Produktivitas tebu nasional sebesar 5.367 kilogram (kg)/ha pada 2021. Lampung berada di posisi kedua dengan produksi tebu mencapai 771,4 ribu ton.  Salah satu kendala untuk meningkatkan produksi yaitu serangan hama. Kerugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit yang cukup tinggi menyakibatkan penurunan produksi gula sekitar 10%. Bahkan serangan hama penggerek pucuk pada umur 5 bulan sebelum tebang dapat menurunkan produksi gula 52-73%.

Hama-hama utama Tanaman Tebu, antara lain :           

  1. Uret

Gejala : 

Uret yang banyak dijumpai jenis Lepidiota stigma.  Tanaman yang terserang uret akan layu, daun menguning kemudian menjadi kering. Bagian pangkal batang tanaman terdapat luka atau kerusakan bekas digerek dan akar-akarnya dimakan uret.  Serangan berat menyebabkan tanaman mudah roboh dan mudah dicabut.  Kerusakan akar terutama disebabkan oleh uret instar 3.  Apabila dijumpai 3 ekor uret per rumpun makin besar kerusakannya. Populasi 3-4 ekor per rumpun dinilai secara ekonomi merugikan.

Biologi :

  1. Telur : Diletakkan dalam tanah yang cukup lembab dengan kedalaman bervariasi dari 5 cm sampai 30 cm. Telur menetas setelah berumur 1 sampai 2 minggu (di laboratorium 12-13 hari).
  2. Larva : Uret instar satu memakan sisa-sisa tanaman yang mati atau akar-akar tanaman di sekitarnya, selanjutnya memasuki instar kedua makan perakaran tanaman yang hidup. Uret L. stigma berkembang dalam empat instar dimana instar yang paling ganas dan merugikan adalah instar tiga. Uret dapat mencapai panjang 4 cm dan masa perkembangnya membutuhkan waktu 380 hari. Serangan L. stigma pada tanaman tebu terberat terjadi pada bulan Februari sampai dengan Juni dan kerusakan terparah banyak terjadi disekitar tempat hinggapnya kumbang.
  3. Pupa : Telur dan larva (uret) berada dalam tanah sampai menjadi fase kepompong (sekitar 6-9 bulan).
  4. Dewasa : Kumbang meletakkan telurnya di tempat tertentu sesuai dengan jenis inang atau habitat inangnya.

Pengendaliannya:

  • Belum diperoleh varietas tebu yang toleran terhadap hama uret, namun diinformasikan varietas tahan misalnya BZ 109 (M 134-32) pernah berhasil dicoba di Mauritus
  • Manipulasi waktu tanam dan tebang, pengolahan tanah secara intensif diikuti pekerja untuk mengambil uret secara manual dan memusnahkannya
  • Pengumpulan serangga dewasa saat penerbangan kumbang di awal musim hujan bulan November-Desember.

 b.  Penggerek Pucuk

Gejala :

Serangan dapat dimulai dari tunas umur 2 minggu hingga tanaman dewasa.  Hama menyerang tebu melalui tulang daun pupus dengan membuat lorong gerekan menuju ke bagian tengah pucuk tanaman sampai ruas muda, merusak titik tumbuh dan akhirnya tanaman mati.

Biologi :

Telur diletakkan secara berkelompok di bawah permukaan daun dan ditutupi bulu-bulu berwarna coklat kekuningan, panjang kelompok telur sekitar 22 mm. Setelah menetas, larva bergerak untuk menggerek dan menembus daun muda yang masih belum membuka menuju ke tulang daun untuk membuat lorong gerekan ke titik tumbuh.  Ulat muda berwarna putih dan ulat dewasa berwarna putih kekuningan,  panjangnya sekitar 30 mm.  Pupa berada di dalam lubang gerekan, berwarna kuning pucat,  panjang sekitar 20 mm.  Ngengat berwarna putih, panjang sekitar 20 mm. Ngengat betina memiliki seberkas rambut merah orange di ujung abdomen.

Pengendaliannya :

  1. Menggunakan benih bebas penggerek
  2. Menggunakan varietas tahan penggerek contihnya PSJT 941, PS 851, PS 891, PS 921, dan PSBM 88-144
  3. Menerapkan rogesan yaitu pemotongan sedikit demi sedikit (3 cm) tanaman dari pucuk ke bawah, dimulai tanaman tebu berumur 2 bulan dan diakhiri sampai tanaman tebu umur 6 bulan.  Rogesan dapat menyelamatkan produksi gula 580 kg/ha.
  4. Pengendalian hayati dengan pelepasan parasitoid telur trichogramma.

2.  Kutu Bulu Putih

Gejala :

Kutu menyerang helaian daun bagian bawah dengan membentuk koloni berwarna putih di kanan dan kiri ibu tulang daun.  Helaian daun permukaan atas tertutup lapisan jamur seperti jelaga. Pada serangat berat, daun menjadi kuning dan mengering,biasanya terjadi pada awal atau akhir musim hujan.   Serangan kutu putih dapat menurunkan produktivitas hingga 2,6 ton/ha dan rendemen menurun dari 12% menjadi 8%.

Biologi :

Nimfa muda dan dewasa, baik  bersayap maupun tidak bersayap, dapat dijumpai pada helai daun yang sama.  Perkembangan nimfa bergantung pada suhu.   Lama hidup nimfa tidak bersayap 23-32 hari, sedangkan yang bersayap antara 32-40 hari.  Rata-rata reproduksi di Laboratorium 3-5 ekor per hari dan satu individu dewasa selama hidup dapat menghasilkan keturunan 41-56 ekor.

Pengendaliannya :

  1. Pengendalian Mekanis pada awal serangan pada saat populasi masih sedikit,
  2. Mengulas daun yang terserang dengan kain basah atau tanah,
  3. Memotong daun yang terserang kemudian dikumpulkan dan dimusnahkan,
  4. Menggunakan varietas yang mudah dikelupas daunnya ,misalnya PS 881.

 d.  Penggerek Batang.  

Gejala :

Serangan biasanya dijumpai pada tanaman tebu berumur 5 bulan atau lebih, berupa bercak-bercak transparan berbentuk bulat oval di daun.   Ulat masuk melalui pelepah dan batang tanaman tebu, kadang menyebabkan tanaman mati puser. Lubang gerekan di dalam batang berbentuk lurus, sedangkan lubang keluar batang bentuknya bulat.  Gerekan kadang mengenai mata tunas.  Serangan ruas 20% menyebabkan penurunan hasil  gula sekurang-kurangnya 10%.

Biologi :

Telur diletakkan secara berkelompok di bawah permukaan daun,panjang sekitar 20 mm, bentuk lonjong,  berwarna putih kelabu.  Setelah menetas,  larva bergerak lewat  pelepah dan batang tebu.   Larva berwarna putih kekuningan dengan panjang sekitar 25 mm. Pupa diletakkan di dalam lubang gerekan,  berwarna kuning pucat,panjang sekitar 15 mm.  Stadia pupa berlangsung 8-12 hari. Ngengat berukuran sekitar 15 mm, warna sayap depan cokelat terang sampai coklat kusam.  Ngengat jantan memiliki sayap belakang putih cokelat dan untuk betinanya berwarna putih sutera.  Satu betina mampu bertelur 60-70 butir.

Pengendaliannya :

  1. Menggunakan benih bebas penggerek
  2. Menggunakan varietas tahan penggerek contohnya PSJT 941, PS 851, PS 891, PS 921, dan PSBM 88-144
  3. Pengendalian hayati dengan parasit lalat Jatiroto 30 pasang/ha dan parasitoid telur Trichogramma 50 pias @2.000 ekor/minggu pada tanaman tebu berumur   1-4 bulan.

Sumber : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Kementerian Pertanian

JAKABA, Jamur Keberuntungan Abadi

JAKABA, Jamur Keberuntungan Abadi

Dalam upaya untuk mendukung pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, penggunaan bahan bahan organik dalam budidaya pertanian menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan. Jamur jakaba adalah salah satu sumber organik yang dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanaman. Jamur jakaba umumnya digunakan dalam bentuk pupuk cair yang diaplikasikan ke bagian tanaman. Jamur jakaba memiliki bentuk seperti koral karang yang bertekstur renyah. Jamur ini memiliki warna cokelat pada bagian atasnya dan berwarna kehijauan serta bertekstur kenyal, tetapi mudah patah pada bagian bawahnya.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan jakaba antara lain, akar-akar an seperti akar bambu, air leri dan pelet ikan. Bahan-bahan dimasukkan dalam sebuah wadah ditutup dan dibiarkan selama kurang lebih 14 hari, hindarkan dari gerakan karena akan merusak jamur. Setelah dibiarkan selama kurang lebih 14 hari jamur akan mulai tumbuh. Penggunaan pelet untuk pakan ikan berfungsi untuk pancingan jamur. 

Cara pengaplikasian jamur jakaba bisa dengan cara penyemprotan. Pertama adalah dengan menghaluskan terlebih dahulu jamur jakaba dengan blender dan ditambahkan dengan air leri secukupnya, kemudian diambil sebanyak 800 ml larutan jakaba yang sudah jadi dan dicampurkan dengan air sebanyak 20 liter. Atau, gunakan sesuai dengan kebutuhan. Pengaplikasian bisa disemprotkan ke seluruh bagian tanaman secara merata.

Manfaat jamur jakaba untuk tanaman antara lain :

  1. Mempercepat pertumbuhann tanaman yang kerdil 
  2. Memperpanjang umur tanaman 
  3. Mengatasi fusarium, Fusarium merupakan patogen pada tanaman yang dapat menyebabkan penyakit hawar

Jabaka sendiri mengandung karbohidrat yang berupa pati, vitamin B, mineral serta berbagai protein. Karbohidrat dalam jumlah yang tinggi akan membantu proses terbentuknya hormon tumbuh berupa Auksin, Giberelin dan Alanin. Ketiga jenis hormon tersebut bertugas merangsang pertumbuhan pucuk daun, mengangkut makanan ke sel-sel terpenting daun dan batang.

 

 

 

Jamur Trichoderma SP. Sebagai Pengganti Pestisida atau Fungisida Sintetik

Jamur Trichoderma SP. Sebagai Pengganti Pestisida atau Fungisida Sintetik

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) menjadi salah satu program yang menjadi perhatian Pemerintah untuk terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan agar dapat menghasilkan produk yang berkuantitas dan berkualitas tinggi. Pengendalian hama secara kultur teknis, pengendalian fisik serta pengendalian hayati (biological control) menjadi teknologi pengendalian hama yang dianjurkan oleh para penyuluh pertanian, sedangkan penggunaan pestisida atau fungisida sintetik menjadi penanggulangan terakhir dalam mengendalikan hama pada tanaman.

Namun para petani yang  belum memahami  hal  tersebut mayoritas langsung menggunakan  fungisida  sintetik untuk mengatasi adanya hama pada tanamannya, sedangkan penggunaan bahan pestisida sintetik yang melebihi dosis anjuran dan digunakan secara terus menerus dapat membahayakan keselamatan hayati termasuk manusia dan keseimbangan ekosistem. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Ngawi mulai menggalakkan “Pertanian Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan” salah satunya dengan mengarahkan para pelaku pertanian menggunakan pengendalian hayati (biological control) seperti fungisida hayati sebagai metode pengendalian hama.

Fungisida hayati adalah jamur yang mengandung mikroorganisme pengendali hayati sehingga tidak perlu memanfaatkan  bahan aktif lagi. Penggunaan fungisida hayati sangat baik terutama bagi keberlangsungan ekosistem karena tidak menimbulkan resistensi pada tanaman dan juga relatif lebih aman karena tidak meninggalkan residu berupa bahan kimia  berbahaya pada produk pertanian. Lebih dari itu, fungisida hayati adalah ciri dari sebuah pengendalian organisme pengganggu tanaman yang berkelanjutan.

Pengendalian hayati (biological control) merupakan cara pengendalian penyakit yang melibatkan manipulasi musuh alami yang menguntungkan untuk memperoleh pengurangan jumlah populasi dan status hama dan penyakit di lapangan. Jamur entomopatogenik dan jamur antagonis merupakan beberapa jenis agens hayati yang bisa dimanfaatkan dalam upaya pengendalian hayati (biological control). Beberapa alasan kenapa jamur tersebut menjadi pilihan sebagai pengendali hayati karena jamur-jamur tersebut mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, mempunyai siklus hidup yang pendek, dapat membentuk spora yang mampu bertahan lama di alam bahkan dalam kondisi ekstrim, disamping itu juga relatif aman digunakan, cukup mudah diproduksi, cocok dengan berbagai insektisida, dan kemungkinan menimbulkan resistensi sangat kecil (Kansrini, 2015).

Jamur Trichoderma sp. adalah salah satu jenis jamur antagonis yang dapat digunakan sebagai fungisida hayati bagi  tanaman. Jamur ini telah banyak diuji efetivitasnya dalam mengendalikan jamur patogen tumbuhan.  Hartal  dkk.  (2010)  melaporkan jamur Trichoderma sp. merupakan agen antagonis yang cukup efektif untuk menghambat perkembangan patogen Fusarium oxysporum yang merupakan penyebab penyakit layu pada tanaman krisan. Selain itu jamur ini juga mampu menyediakan unsur hara tanaman yang diperlukan untuk  mendukung  pertumbuhan  organ  vegetatif  maupun  reproduktif melalui proses dekomposisi bahan organik yang diberikan pada media tanam. Efri dkk. (2010) juga melaporkan bahwa jamur Trichoderma sp. yang diisolasi dari filosfer tanaman jagung memiliki kemampuan  antagonisme yang baik terhadap isolat jamur patogen Phytophthora capsici. Soesanto dkk. (2013) melakukan  percobaan daya hambat jamur Trichoderma sp. yang diisolasi dari perakaran tanaman terhadap beberapa isolat jamur patogen  seperti Fusarium sp., Phytophthora sp., Colletotrichum capsici, Pythium sp., dan Sclerotium rolfsii. Hasilnya jamur Trichoderma sp. yang diuji memiliki daya  penghambatan yang baik terhadap semua jenis  isolat jamur patogen secara in vitro. Oleh karena itu edukasi, pelatihan dan pendidikan terhadap para pelaku pertanian mengenai jamur antagonis Trichoderma sp. Sebagai pengganti penggunaan pestisida/fungisida sintetik dalam mengatasi masalah penyakit tanama Khususnya di Kabupaten Ngawi sangat diperlukan.

Sumber:

Saleh, Ahmad. dkk. 2021. Eksplorasi dan Perbanyakan Jamur Trichoderma sp. Sebagai Bahan Pembuatan Fungisida Hayati di Desa Watas. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat BUGUH, Vol 1 No 2: 32-33.

Novianti, Dewi. 2018. Perbanyakan Jamur Trichoderma sp. Pada Beberapa Media. Jurnal Ilmiah Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Vol 15 No 1:36-37.

Kansrini, Y. 2015. Uji Berbagai Jenis Media Perbanyakan Terhadap Perkembangan Jamur Beauveria bassiana di Laboratorium. Jurnal Agrica Ekstensia, 9(1), 34-39.

Hartal., Misnawaty, dan Budi, I. (2010). Efektivitas Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Krisan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, Vol 12 (1): 7-12.

Efri., Prasetyo, J. dan Suharjo, R. (2010). Skrining dan Uji Antagonisme Jamur Trichoderma Harzianum yang Mampu Bertahan di Filosfer Tanaman Jagung. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol 9(2): 121-129.

Soesanto, L., Mugiastuti, E., Rahayuniati, R.F., dan Dewi, R.S. (2013). Uji Kesesuaian Empat Isolat Trichoderma sp. dan Daya Hambat In Vitro terhadap Beberapa Patogen Tanaman. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol 13(2): 117-123.