Gebyar Produk Unggulan Perkebunan Jawa Timur

Gebyar Produk Unggulan Perkebunan Jawa Timur

Dinas ketahanan pangan dan pertanian kabupaten ngawi ikut menghadiri undangan untuk acara yang diadakan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur yaitu Gebyar Produk Unggulan Perkebunan Jawa Timur pada tanggal 11-13 Agustus 2022 di Exhibition Hall, Grand City Surabaya. Dengan mengundang 20 kabupaten yang ada di jawa timur Kegiatan tersebut digelar dalam rangka mempromosikan dan lebih mengenalkan ragam produk unggulan perkebunan yang ada di Provinsi Jawa Timur dengan tema Sinergitas Pemulihan Ekonomi Melalui Penguatan Pangan Dan Pengembangan Produk Agro Yang Berdaya Saing. 

Dari Dinas Ketahanan Pangan Dan Pertanian Kabupaten Ngawi mengenalkan produk unggulan perkebunan yang ada di kabupaten ngawi yaitu kopi dan tembakau. Adapun Produk dan peralatan teknologi perkebunan yang dipamerkan dalam acara gebyar produk unggulan perkebunan jawa timur 2022 antara lain kopi, tembakau, coklat, gula merah dari kelapa dan tebu, lada, produk turunan tembakau, dan berbagai produk dari UMKM, PUSLITKOKA, PTPN X dan PTPN XII Jawa Timur dan masih banyak lagi. 

Hama-Hama Utama Pada Tanaman Tebu

Hama-Hama Utama Pada Tanaman Tebu

Tanaman tebu merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis dan kebutuhan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Produktivitas tebu nasional sebesar 5.367 kilogram (kg)/ha pada 2021. Lampung berada di posisi kedua dengan produksi tebu mencapai 771,4 ribu ton.  Salah satu kendala untuk meningkatkan produksi yaitu serangan hama. Kerugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit yang cukup tinggi menyakibatkan penurunan produksi gula sekitar 10%. Bahkan serangan hama penggerek pucuk pada umur 5 bulan sebelum tebang dapat menurunkan produksi gula 52-73%.

Hama-hama utama Tanaman Tebu, antara lain :           

  1. Uret

Gejala : 

Uret yang banyak dijumpai jenis Lepidiota stigma.  Tanaman yang terserang uret akan layu, daun menguning kemudian menjadi kering. Bagian pangkal batang tanaman terdapat luka atau kerusakan bekas digerek dan akar-akarnya dimakan uret.  Serangan berat menyebabkan tanaman mudah roboh dan mudah dicabut.  Kerusakan akar terutama disebabkan oleh uret instar 3.  Apabila dijumpai 3 ekor uret per rumpun makin besar kerusakannya. Populasi 3-4 ekor per rumpun dinilai secara ekonomi merugikan.

Biologi :

  1. Telur : Diletakkan dalam tanah yang cukup lembab dengan kedalaman bervariasi dari 5 cm sampai 30 cm. Telur menetas setelah berumur 1 sampai 2 minggu (di laboratorium 12-13 hari).
  2. Larva : Uret instar satu memakan sisa-sisa tanaman yang mati atau akar-akar tanaman di sekitarnya, selanjutnya memasuki instar kedua makan perakaran tanaman yang hidup. Uret L. stigma berkembang dalam empat instar dimana instar yang paling ganas dan merugikan adalah instar tiga. Uret dapat mencapai panjang 4 cm dan masa perkembangnya membutuhkan waktu 380 hari. Serangan L. stigma pada tanaman tebu terberat terjadi pada bulan Februari sampai dengan Juni dan kerusakan terparah banyak terjadi disekitar tempat hinggapnya kumbang.
  3. Pupa : Telur dan larva (uret) berada dalam tanah sampai menjadi fase kepompong (sekitar 6-9 bulan).
  4. Dewasa : Kumbang meletakkan telurnya di tempat tertentu sesuai dengan jenis inang atau habitat inangnya.

Pengendaliannya:

  • Belum diperoleh varietas tebu yang toleran terhadap hama uret, namun diinformasikan varietas tahan misalnya BZ 109 (M 134-32) pernah berhasil dicoba di Mauritus
  • Manipulasi waktu tanam dan tebang, pengolahan tanah secara intensif diikuti pekerja untuk mengambil uret secara manual dan memusnahkannya
  • Pengumpulan serangga dewasa saat penerbangan kumbang di awal musim hujan bulan November-Desember.

 b.  Penggerek Pucuk

Gejala :

Serangan dapat dimulai dari tunas umur 2 minggu hingga tanaman dewasa.  Hama menyerang tebu melalui tulang daun pupus dengan membuat lorong gerekan menuju ke bagian tengah pucuk tanaman sampai ruas muda, merusak titik tumbuh dan akhirnya tanaman mati.

Biologi :

Telur diletakkan secara berkelompok di bawah permukaan daun dan ditutupi bulu-bulu berwarna coklat kekuningan, panjang kelompok telur sekitar 22 mm. Setelah menetas, larva bergerak untuk menggerek dan menembus daun muda yang masih belum membuka menuju ke tulang daun untuk membuat lorong gerekan ke titik tumbuh.  Ulat muda berwarna putih dan ulat dewasa berwarna putih kekuningan,  panjangnya sekitar 30 mm.  Pupa berada di dalam lubang gerekan, berwarna kuning pucat,  panjang sekitar 20 mm.  Ngengat berwarna putih, panjang sekitar 20 mm. Ngengat betina memiliki seberkas rambut merah orange di ujung abdomen.

Pengendaliannya :

  1. Menggunakan benih bebas penggerek
  2. Menggunakan varietas tahan penggerek contihnya PSJT 941, PS 851, PS 891, PS 921, dan PSBM 88-144
  3. Menerapkan rogesan yaitu pemotongan sedikit demi sedikit (3 cm) tanaman dari pucuk ke bawah, dimulai tanaman tebu berumur 2 bulan dan diakhiri sampai tanaman tebu umur 6 bulan.  Rogesan dapat menyelamatkan produksi gula 580 kg/ha.
  4. Pengendalian hayati dengan pelepasan parasitoid telur trichogramma.

2.  Kutu Bulu Putih

Gejala :

Kutu menyerang helaian daun bagian bawah dengan membentuk koloni berwarna putih di kanan dan kiri ibu tulang daun.  Helaian daun permukaan atas tertutup lapisan jamur seperti jelaga. Pada serangat berat, daun menjadi kuning dan mengering,biasanya terjadi pada awal atau akhir musim hujan.   Serangan kutu putih dapat menurunkan produktivitas hingga 2,6 ton/ha dan rendemen menurun dari 12% menjadi 8%.

Biologi :

Nimfa muda dan dewasa, baik  bersayap maupun tidak bersayap, dapat dijumpai pada helai daun yang sama.  Perkembangan nimfa bergantung pada suhu.   Lama hidup nimfa tidak bersayap 23-32 hari, sedangkan yang bersayap antara 32-40 hari.  Rata-rata reproduksi di Laboratorium 3-5 ekor per hari dan satu individu dewasa selama hidup dapat menghasilkan keturunan 41-56 ekor.

Pengendaliannya :

  1. Pengendalian Mekanis pada awal serangan pada saat populasi masih sedikit,
  2. Mengulas daun yang terserang dengan kain basah atau tanah,
  3. Memotong daun yang terserang kemudian dikumpulkan dan dimusnahkan,
  4. Menggunakan varietas yang mudah dikelupas daunnya ,misalnya PS 881.

 d.  Penggerek Batang.  

Gejala :

Serangan biasanya dijumpai pada tanaman tebu berumur 5 bulan atau lebih, berupa bercak-bercak transparan berbentuk bulat oval di daun.   Ulat masuk melalui pelepah dan batang tanaman tebu, kadang menyebabkan tanaman mati puser. Lubang gerekan di dalam batang berbentuk lurus, sedangkan lubang keluar batang bentuknya bulat.  Gerekan kadang mengenai mata tunas.  Serangan ruas 20% menyebabkan penurunan hasil  gula sekurang-kurangnya 10%.

Biologi :

Telur diletakkan secara berkelompok di bawah permukaan daun,panjang sekitar 20 mm, bentuk lonjong,  berwarna putih kelabu.  Setelah menetas,  larva bergerak lewat  pelepah dan batang tebu.   Larva berwarna putih kekuningan dengan panjang sekitar 25 mm. Pupa diletakkan di dalam lubang gerekan,  berwarna kuning pucat,panjang sekitar 15 mm.  Stadia pupa berlangsung 8-12 hari. Ngengat berukuran sekitar 15 mm, warna sayap depan cokelat terang sampai coklat kusam.  Ngengat jantan memiliki sayap belakang putih cokelat dan untuk betinanya berwarna putih sutera.  Satu betina mampu bertelur 60-70 butir.

Pengendaliannya :

  1. Menggunakan benih bebas penggerek
  2. Menggunakan varietas tahan penggerek contohnya PSJT 941, PS 851, PS 891, PS 921, dan PSBM 88-144
  3. Pengendalian hayati dengan parasit lalat Jatiroto 30 pasang/ha dan parasitoid telur Trichogramma 50 pias @2.000 ekor/minggu pada tanaman tebu berumur   1-4 bulan.

Sumber : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Kementerian Pertanian

JAKABA, Jamur Keberuntungan Abadi

JAKABA, Jamur Keberuntungan Abadi

Dalam upaya untuk mendukung pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, penggunaan bahan bahan organik dalam budidaya pertanian menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan. Jamur jakaba adalah salah satu sumber organik yang dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanaman. Jamur jakaba umumnya digunakan dalam bentuk pupuk cair yang diaplikasikan ke bagian tanaman. Jamur jakaba memiliki bentuk seperti koral karang yang bertekstur renyah. Jamur ini memiliki warna cokelat pada bagian atasnya dan berwarna kehijauan serta bertekstur kenyal, tetapi mudah patah pada bagian bawahnya.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan jakaba antara lain, akar-akar an seperti akar bambu, air leri dan pelet ikan. Bahan-bahan dimasukkan dalam sebuah wadah ditutup dan dibiarkan selama kurang lebih 14 hari, hindarkan dari gerakan karena akan merusak jamur. Setelah dibiarkan selama kurang lebih 14 hari jamur akan mulai tumbuh. Penggunaan pelet untuk pakan ikan berfungsi untuk pancingan jamur. 

Cara pengaplikasian jamur jakaba bisa dengan cara penyemprotan. Pertama adalah dengan menghaluskan terlebih dahulu jamur jakaba dengan blender dan ditambahkan dengan air leri secukupnya, kemudian diambil sebanyak 800 ml larutan jakaba yang sudah jadi dan dicampurkan dengan air sebanyak 20 liter. Atau, gunakan sesuai dengan kebutuhan. Pengaplikasian bisa disemprotkan ke seluruh bagian tanaman secara merata.

Manfaat jamur jakaba untuk tanaman antara lain :

  1. Mempercepat pertumbuhann tanaman yang kerdil 
  2. Memperpanjang umur tanaman 
  3. Mengatasi fusarium, Fusarium merupakan patogen pada tanaman yang dapat menyebabkan penyakit hawar

Jabaka sendiri mengandung karbohidrat yang berupa pati, vitamin B, mineral serta berbagai protein. Karbohidrat dalam jumlah yang tinggi akan membantu proses terbentuknya hormon tumbuh berupa Auksin, Giberelin dan Alanin. Ketiga jenis hormon tersebut bertugas merangsang pertumbuhan pucuk daun, mengangkut makanan ke sel-sel terpenting daun dan batang.

 

 

 

Jamur Trichoderma SP. Sebagai Pengganti Pestisida atau Fungisida Sintetik

Jamur Trichoderma SP. Sebagai Pengganti Pestisida atau Fungisida Sintetik

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) menjadi salah satu program yang menjadi perhatian Pemerintah untuk terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan agar dapat menghasilkan produk yang berkuantitas dan berkualitas tinggi. Pengendalian hama secara kultur teknis, pengendalian fisik serta pengendalian hayati (biological control) menjadi teknologi pengendalian hama yang dianjurkan oleh para penyuluh pertanian, sedangkan penggunaan pestisida atau fungisida sintetik menjadi penanggulangan terakhir dalam mengendalikan hama pada tanaman.

Namun para petani yang  belum memahami  hal  tersebut mayoritas langsung menggunakan  fungisida  sintetik untuk mengatasi adanya hama pada tanamannya, sedangkan penggunaan bahan pestisida sintetik yang melebihi dosis anjuran dan digunakan secara terus menerus dapat membahayakan keselamatan hayati termasuk manusia dan keseimbangan ekosistem. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Ngawi mulai menggalakkan “Pertanian Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan” salah satunya dengan mengarahkan para pelaku pertanian menggunakan pengendalian hayati (biological control) seperti fungisida hayati sebagai metode pengendalian hama.

Fungisida hayati adalah jamur yang mengandung mikroorganisme pengendali hayati sehingga tidak perlu memanfaatkan  bahan aktif lagi. Penggunaan fungisida hayati sangat baik terutama bagi keberlangsungan ekosistem karena tidak menimbulkan resistensi pada tanaman dan juga relatif lebih aman karena tidak meninggalkan residu berupa bahan kimia  berbahaya pada produk pertanian. Lebih dari itu, fungisida hayati adalah ciri dari sebuah pengendalian organisme pengganggu tanaman yang berkelanjutan.

Pengendalian hayati (biological control) merupakan cara pengendalian penyakit yang melibatkan manipulasi musuh alami yang menguntungkan untuk memperoleh pengurangan jumlah populasi dan status hama dan penyakit di lapangan. Jamur entomopatogenik dan jamur antagonis merupakan beberapa jenis agens hayati yang bisa dimanfaatkan dalam upaya pengendalian hayati (biological control). Beberapa alasan kenapa jamur tersebut menjadi pilihan sebagai pengendali hayati karena jamur-jamur tersebut mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, mempunyai siklus hidup yang pendek, dapat membentuk spora yang mampu bertahan lama di alam bahkan dalam kondisi ekstrim, disamping itu juga relatif aman digunakan, cukup mudah diproduksi, cocok dengan berbagai insektisida, dan kemungkinan menimbulkan resistensi sangat kecil (Kansrini, 2015).

Jamur Trichoderma sp. adalah salah satu jenis jamur antagonis yang dapat digunakan sebagai fungisida hayati bagi  tanaman. Jamur ini telah banyak diuji efetivitasnya dalam mengendalikan jamur patogen tumbuhan.  Hartal  dkk.  (2010)  melaporkan jamur Trichoderma sp. merupakan agen antagonis yang cukup efektif untuk menghambat perkembangan patogen Fusarium oxysporum yang merupakan penyebab penyakit layu pada tanaman krisan. Selain itu jamur ini juga mampu menyediakan unsur hara tanaman yang diperlukan untuk  mendukung  pertumbuhan  organ  vegetatif  maupun  reproduktif melalui proses dekomposisi bahan organik yang diberikan pada media tanam. Efri dkk. (2010) juga melaporkan bahwa jamur Trichoderma sp. yang diisolasi dari filosfer tanaman jagung memiliki kemampuan  antagonisme yang baik terhadap isolat jamur patogen Phytophthora capsici. Soesanto dkk. (2013) melakukan  percobaan daya hambat jamur Trichoderma sp. yang diisolasi dari perakaran tanaman terhadap beberapa isolat jamur patogen  seperti Fusarium sp., Phytophthora sp., Colletotrichum capsici, Pythium sp., dan Sclerotium rolfsii. Hasilnya jamur Trichoderma sp. yang diuji memiliki daya  penghambatan yang baik terhadap semua jenis  isolat jamur patogen secara in vitro. Oleh karena itu edukasi, pelatihan dan pendidikan terhadap para pelaku pertanian mengenai jamur antagonis Trichoderma sp. Sebagai pengganti penggunaan pestisida/fungisida sintetik dalam mengatasi masalah penyakit tanama Khususnya di Kabupaten Ngawi sangat diperlukan.

Sumber:

Saleh, Ahmad. dkk. 2021. Eksplorasi dan Perbanyakan Jamur Trichoderma sp. Sebagai Bahan Pembuatan Fungisida Hayati di Desa Watas. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat BUGUH, Vol 1 No 2: 32-33.

Novianti, Dewi. 2018. Perbanyakan Jamur Trichoderma sp. Pada Beberapa Media. Jurnal Ilmiah Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Vol 15 No 1:36-37.

Kansrini, Y. 2015. Uji Berbagai Jenis Media Perbanyakan Terhadap Perkembangan Jamur Beauveria bassiana di Laboratorium. Jurnal Agrica Ekstensia, 9(1), 34-39.

Hartal., Misnawaty, dan Budi, I. (2010). Efektivitas Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Krisan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, Vol 12 (1): 7-12.

Efri., Prasetyo, J. dan Suharjo, R. (2010). Skrining dan Uji Antagonisme Jamur Trichoderma Harzianum yang Mampu Bertahan di Filosfer Tanaman Jagung. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol 9(2): 121-129.

Soesanto, L., Mugiastuti, E., Rahayuniati, R.F., dan Dewi, R.S. (2013). Uji Kesesuaian Empat Isolat Trichoderma sp. dan Daya Hambat In Vitro terhadap Beberapa Patogen Tanaman. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol 13(2): 117-123.

Pelatihan Pembuatan Ferinsa Plus di Kecamatan Padas

Pelatihan Pembuatan Ferinsa Plus di Kecamatan Padas

Petani di Desa Padas Kecamatan Padas Kabupaten Ngawi berinisiatif untuk memanfaatkan urine sapi sebagai bahan organik yang dapat dijadikan penyubur tanaman padi dan mencegah kerusakan karena hama tikus. Inisiatif tersebut muncul ketika adanya informasi yang disampaikan oleh PPl dan Petugas POPT Kecamatan Padas bahwa bahan tersebut dapat dijadikan Ferinsa Plus. Maka dari itu, diadakan pelatihan pembuatan Ferinsa Plus yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa Padas. 

Pelatihan dilakukan di Desa Padas pada Rabu tanggal 03 Agustus 2022 dengan pemateri yaitu PPL, Niswatul Khasanah dan Petugas POPT, Sudirman, beserta seluruh PPL Kecamatan Padas. Adapun rangkaian pelatihan tersebut dibuka terlebih dahulu oleh Sekertaris Desa Padas dan Koordinator PPL BPP Padas. “Tanah kita apabila dipupuk kimia secara terus menerus akan menjadi sakit, seberapapun pupuk kimia yang diberikan tidak akan berdampak secara mutlak terhadap produktifitas, maka pertanian ramah lingkungan dengan memanfaatkan inovasi Ferinsa Plus adalah alternatif dalam membenahi tanah kita, dengan harapan produktifitas semakin baik.” tutur Niswatul Khasanah.

Pelatihan dilakukan secara Learning by Doing dimana petani membuat Ferinsa Plus tersebut secara langsung dengan diarahkan terlebih dahulu oleh Petugas POPT dan PPL Desa Padas. Adapun bahan yang digunakan pada pembuatan Ferinsa Plus yaitu: a) Urine Sapi; b) Molases; c) Susu segara/kaleng; d) Terasi; e) Kunir; f) Jahe; g) Laos; h) Kencur; i) Provibio IPB. Langkah pembuatannya adalah semua bahan-bahan padat tersebut dihaluskan kemudian letakan pada drum dan dicampur rata dengan bahan yang cair. Kemudian, instalasi aerator dipasang dan diferemntasikan selama 21 hari atau lebih. Kedepannya, BPP Padas beserta Pemerintah Desa Padas berkomiteman adan terus mendampingi petani apabila menerapkan pembuatan sekaligus aplikasi Ferinsa Plus secara mandiri dengan pendekatan interpersonal secara anjangsana.