Pengendalian Hama Terpadu (PHT) menjadi salah satu program yang menjadi perhatian Pemerintah untuk terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan agar dapat menghasilkan produk yang berkuantitas dan berkualitas tinggi. Pengendalian hama secara kultur teknis, pengendalian fisik serta pengendalian hayati (biological control) menjadi teknologi pengendalian hama yang dianjurkan oleh para penyuluh pertanian, sedangkan penggunaan pestisida atau fungisida sintetik menjadi penanggulangan terakhir dalam mengendalikan hama pada tanaman.

Namun para petani yang  belum memahami  hal  tersebut mayoritas langsung menggunakan  fungisida  sintetik untuk mengatasi adanya hama pada tanamannya, sedangkan penggunaan bahan pestisida sintetik yang melebihi dosis anjuran dan digunakan secara terus menerus dapat membahayakan keselamatan hayati termasuk manusia dan keseimbangan ekosistem. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Ngawi mulai menggalakkan “Pertanian Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan” salah satunya dengan mengarahkan para pelaku pertanian menggunakan pengendalian hayati (biological control) seperti fungisida hayati sebagai metode pengendalian hama.

Fungisida hayati adalah jamur yang mengandung mikroorganisme pengendali hayati sehingga tidak perlu memanfaatkan  bahan aktif lagi. Penggunaan fungisida hayati sangat baik terutama bagi keberlangsungan ekosistem karena tidak menimbulkan resistensi pada tanaman dan juga relatif lebih aman karena tidak meninggalkan residu berupa bahan kimia  berbahaya pada produk pertanian. Lebih dari itu, fungisida hayati adalah ciri dari sebuah pengendalian organisme pengganggu tanaman yang berkelanjutan.

Pengendalian hayati (biological control) merupakan cara pengendalian penyakit yang melibatkan manipulasi musuh alami yang menguntungkan untuk memperoleh pengurangan jumlah populasi dan status hama dan penyakit di lapangan. Jamur entomopatogenik dan jamur antagonis merupakan beberapa jenis agens hayati yang bisa dimanfaatkan dalam upaya pengendalian hayati (biological control). Beberapa alasan kenapa jamur tersebut menjadi pilihan sebagai pengendali hayati karena jamur-jamur tersebut mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, mempunyai siklus hidup yang pendek, dapat membentuk spora yang mampu bertahan lama di alam bahkan dalam kondisi ekstrim, disamping itu juga relatif aman digunakan, cukup mudah diproduksi, cocok dengan berbagai insektisida, dan kemungkinan menimbulkan resistensi sangat kecil (Kansrini, 2015).

Jamur Trichoderma sp. adalah salah satu jenis jamur antagonis yang dapat digunakan sebagai fungisida hayati bagi  tanaman. Jamur ini telah banyak diuji efetivitasnya dalam mengendalikan jamur patogen tumbuhan.  Hartal  dkk.  (2010)  melaporkan jamur Trichoderma sp. merupakan agen antagonis yang cukup efektif untuk menghambat perkembangan patogen Fusarium oxysporum yang merupakan penyebab penyakit layu pada tanaman krisan. Selain itu jamur ini juga mampu menyediakan unsur hara tanaman yang diperlukan untuk  mendukung  pertumbuhan  organ  vegetatif  maupun  reproduktif melalui proses dekomposisi bahan organik yang diberikan pada media tanam. Efri dkk. (2010) juga melaporkan bahwa jamur Trichoderma sp. yang diisolasi dari filosfer tanaman jagung memiliki kemampuan  antagonisme yang baik terhadap isolat jamur patogen Phytophthora capsici. Soesanto dkk. (2013) melakukan  percobaan daya hambat jamur Trichoderma sp. yang diisolasi dari perakaran tanaman terhadap beberapa isolat jamur patogen  seperti Fusarium sp., Phytophthora sp., Colletotrichum capsici, Pythium sp., dan Sclerotium rolfsii. Hasilnya jamur Trichoderma sp. yang diuji memiliki daya  penghambatan yang baik terhadap semua jenis  isolat jamur patogen secara in vitro. Oleh karena itu edukasi, pelatihan dan pendidikan terhadap para pelaku pertanian mengenai jamur antagonis Trichoderma sp. Sebagai pengganti penggunaan pestisida/fungisida sintetik dalam mengatasi masalah penyakit tanama Khususnya di Kabupaten Ngawi sangat diperlukan.

Sumber:

Saleh, Ahmad. dkk. 2021. Eksplorasi dan Perbanyakan Jamur Trichoderma sp. Sebagai Bahan Pembuatan Fungisida Hayati di Desa Watas. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat BUGUH, Vol 1 No 2: 32-33.

Novianti, Dewi. 2018. Perbanyakan Jamur Trichoderma sp. Pada Beberapa Media. Jurnal Ilmiah Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Vol 15 No 1:36-37.

Kansrini, Y. 2015. Uji Berbagai Jenis Media Perbanyakan Terhadap Perkembangan Jamur Beauveria bassiana di Laboratorium. Jurnal Agrica Ekstensia, 9(1), 34-39.

Hartal., Misnawaty, dan Budi, I. (2010). Efektivitas Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Krisan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, Vol 12 (1): 7-12.

Efri., Prasetyo, J. dan Suharjo, R. (2010). Skrining dan Uji Antagonisme Jamur Trichoderma Harzianum yang Mampu Bertahan di Filosfer Tanaman Jagung. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol 9(2): 121-129.

Soesanto, L., Mugiastuti, E., Rahayuniati, R.F., dan Dewi, R.S. (2013). Uji Kesesuaian Empat Isolat Trichoderma sp. dan Daya Hambat In Vitro terhadap Beberapa Patogen Tanaman. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol 13(2): 117-123.